
Namun sejak tahun 1984 ngaben di Banjar Ubud Kelod dilaksanakan dengan cara masal yaitu disebut dengan ngaben masal/ngaben kerta masa didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan waktu, biaya dan tenaga. Apalagi jarak waktunya dengan rentang 4 tahun. Mengingat kegiatan-kegiatan adat keagamaan di Ubud Kelod dan Ububd pada umumnya sangat padat.
Untuk tahun ini jumlah sawa/penangga di Br. Ubud Kelod 23 sawa. Ditambah dengan beban adat di Puri lagi satu yaitu tokoh Bendesa adat yang notabene yang
Adapun tokoh besar dari Banjar kami yang wafat 28 April 2008 lalu

Gede Agung Suyasa ketika masih hidup adalah seorang yang tenang, berwibawa dan separuh lebih hidup beliau di Darma Bhaktikan bagi kegiatan keagamaan, yaitu Agama Hindu. Terutama dalam proses pengembangan fisik Parahyangan di seluruh Bali dan Kahyangan di luar Bali . Khususnya Pura Semeru di Jawa Timur. Beliau adalah warga Banjar Ubud Kelod yang menjabat sebagai Bendesa sampai akhir ayatnya. Dan mendapat penghormatan yang luar biasa dari tokoh-tokoh pemerintahan, adat dan wisatawan mancanegara. Secara realitas di dalam kehidupan adalah seorang raja, mempunyai wilayah dan raktyat tetapi beliau tidak mau mengatakan hal tersebut apalagi Negara kita bukan lagi berbentuk kerajaan. Untuk yang terlibat di dalam pelebon beliau melibatkan kurang lebih 70 bendesa adat dan banjar. Dari proses ngaturang bakti apa saja, membuat upakara pelebon atau maligia. Ngaturang sarana upakara seperti bambu, pisang, daun dan lain-lain termasuk ayahan angga, membantu proses pelebon dengan tenaga seperti membuat bade, lembu, naga banda, tragtag dan nyandang atau menggotong bade, lembu dan lain-lain ke tunon atau setra.

Untuk pelebon pada tanggal 15 Juli 2008 di Puri Ubud ada dua bade besar, karena ada dua layon. Satu bale dengan ketinggian 26 meter satu lagi 22 meter. Arsitek bade atau pakoleman dari Puri Saren Agung Ubud Tjokorda Gede Raka Sukawati, SE. , beserta adik almarhum Tjokorda Raka Kertyasa, S.Sos. bersama arsitek akademis dan tokoh masyarakat, mendiskusikan bagaimana membuat satu bade yang inggi dan besar yang berisi dua layon. Arsiteknya mengatakan bisa, tetapi karena jalan di kiri kanan jalan raya Ubud sudah di trotoarisasi, maka hal itu tidak mungkin, karena memerlukan sanan atau alat penggotong yang lebar sampai ke trotoar. Beliaau pihak Puri beserta arsitek dan tokoh masyarakat Ubud ingin mengulang peristiwa tahun 1967 dimana pada saat itu ada layon kembar (2 layon). Dalam satu bade yang sangat besar dan tinggi, tetapi karena keadaan hal itu tidak bisa diwujudkan. Sesungguhnya peristiwan ini perlu dicatat oleh MURI, karena sangat langka di seluruh
Tidak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi di Desa Pekraman Ubud pada tanggal 15 Juli 2008. Ribuan masa akan tumpah ruah ke Ubud, termasuk wisatawan mancanegara. Untuk menyaksikan pelebon dan ngaben Kerta Masa Ubud 2008. sehabis menyandang atau menggotong bade, lembu, naga banda ke tunon atau setra puri. Maka masyarakat Ubud akan berbalik menggotong/menyandang sawa di Banjarnya masing-masing, menuju setra Ubud. Jalan akan penuh sesak dan akan terjadi kemacetan. Belum lagi berbaurnya para kameramen, wartawan, photographer, akan memadatkan lalu lintas di Ubud.

Khususnya untuk Banjar Ubud Kelod, masyarakat yang mempunyai sawa akan mendapatkan bantuan pinjaman Rp. 10.000.000,- dari Koperasi Serba Usaha Guna Artha Werdhi Ubud Kelod tanpa bunga selama 10 bulan.
by. Arby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar